Pancasila ( Respon dan Dinamika Muhammadiyyah)
BAB
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pancasila
lahir pada I juni 1945 dalam pidato Soekarno di depan sidang BPUPKI, Pancasila
merupakan dasar Negara atau ideologi Negara, yang kemudian dijadikan sebagai
doktrin ideologis untuk menggiring rakyat pada Demokrasi Terpimpin dan poros
Nasakom. Namun setelah Pemerintah Soekarno runtuh dan digantikan oleh
Pemerintah Soeharto Pancasila dijadikan sebagai mitos Asas Tunggal yaitu
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam partai dan organisasi kemasyarakatan,
dengan mengeluarkan UU No 8 Tahun 1985 tentang Oraganisasi Kemasyarakatan. Dalam kebijakan ini pemerintah Soeharto menghendaki
semua oraganisasi kemasyarakat mengganti asas organisasinya dengan Pancasila.
Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui sejarah perkembangan organisasi Persatuan Islam
sejak awal berdirinya sampai awal Orde Baru; Untuk mengetahui kebijakan
Permerintah Orde Baru terhadap umat Islam; Untuk mengetahui respons organisasi
Persatuan Islam terhadap pemberlakuan asas tunggal.
Metode yang
digunakan adalah metode historis melalui empat tahapan, yaitu tahapan
heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Dalam penulisan makalah ini
semua tahapan penelitian dilakukan karena data yang digunakan terdapat sumber
primer dan sumber sekunder karena banyak data yang merupakan buku-buku yang
relatif baru, maka penulis juga melakukan studi pustaka.
Penelitian ini
bertolak dari pemikiran bahwa organisasi Persatuan Islam yang merupakan
organisasi Islam yang berasaskan Islam yang senantiasa membela kepentingan umat
Islam, harus mengganti asas organisasinya yang tadinya Islam menjadi Pancasila.
Setelah penulis
menganalisis terhadap sumber data, dapat diambil kesimpulan bahwa UU No. 8
tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan merupakan gagasan yang dicanangkan
oleh Soeharto, tujuannya adalah untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya
asas di Indonesia. selain itu UU No. 8 tahun 1985 tentang organisasi
kemasyarakatan dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya, dengan
depolitisasi terhadap umat Islam, karena pada saat itu suara umat Islam sangat
berpengaruh. Kebijakan Soeharto yaitu UU No. 8 tahun 1985 tentang organisasi
kemasyarakatan sangat merugikan umat Islam, namun di sini umat Islam tidak
dapat berbuat apa-apa karena pemerintah mengancam akan membubarkan organisasi
manapun yang tidak melaksanakan kebijakan tersebut.Semua organisasi Islam
termasuk Persatuan Islam terpaksa menerima UU No. 8 tahun 1985 tentang
organisasi kemasyarakatan demi berjalannya roda organisasi, namun Persatuan
Islam hanya menganti asasnya saja tetapi tujuan organisasinya tetap berdasarkan
Al-Quran dan As-Sunnah.
B. TUJUAN
1.
Mengembangkan
pengetahuan Muhammadiyah dan BPUPKI
2.
Mengembangkan
pengetahuan Muhammadiyah dan asas tunggal
3.
Mengembangkan
pengetahuan pancasila sebagai konsensus nasional
4.
Mengembangkan
pengetahuan pancasila, NKRI, dan Muhammadiyah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
MUHAMMADIYAH
DAN BPUPKI
Gagasan dan
perilaku politik tentang negara Islam baru muncul secara resmi di panggung
politik yaitu beberapa bulan menjelang diproklamasikan kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu ketika BPUPKI bertugas menyusun UUD. Untuk
dasar negara telah muncul tiga konsep: Islam, Pancasila, dan
sosial-ekonomi. Namun, konsep terakhir tenggelam setelah terjadi tarik-menarik
antara dua konsep, yaitu pancasila dan Islam. Akhir dari tarik menarik ini
adalah dihasilkannya Piagam Jakarta yang dirancang, dirumuskan, dan
ditandatangani oleh panitia sembilan tanggal 22 Juni 1945 sebagai konsensus
dari dua sayap.
Golongan
Islam ingin mengusung konsep negara berdasar Islam, artinya mereka ingin
menjadikan Indonesia berdasarkan Islam. Negara Islam sebagai konsep,
isinya menekankan subtansi, dengan menjadikan ajaran Islam sebagai
Undang-undang negara. Isu Islam sebagai dasar negara sangat mewarnai percakapan
dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI pada 1945 sidang-sidang konstituante pada
1957-1959.[6]
Ki Bagus Hadikusumo sebagai tokoh vokal yang mewakili golongan Islam dalam
sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945 mengeluarkan pernyataan yang intinya “membangun
negara di atas ajaran Islam”. Gagasannya tersebut didasarkan pada alasan
sosio-historis dan pemahaman terhadap ajaran Islam. Menurut Ki Bagus, agama
Islam paling tidak sudah enam abad menjadi agama bangsa Indonesia. Adat
istiadat dan hukum islam sudah berlaku lama di Indonesia.
Mayoritas penduduk yang berjiwa islam tidaklah pasif, tetapi aktif dan terus
menerus hidup bersemangat. Jiwa yang hidup menggerakkan aktifitas sosial
artinya meskipun keadaan ekonomi masih lemah dan rendah sebagai akibat
penindasan dan pemerasan kolonial Belanda namun kaum muslimin tetap dapat
mendirikan beribu-ribu pondok pesantren , mushola, dan masjid yang digunakan
untuk keperluan umum.[7]
Di masa modern ini, dibangun pula beribu-ribu sekolah, madrasah,
dan berbagai balai pertolongan seperti rumah sakit, rumah yatim dan sebagainya.[8]
Alasan yang kedua tentang pemahaman atas ajaran Islam, Ki Bagus Hadikusuma
mendasarkan keinginannya agar Islam dijadikan dasar negara pada pemahaman Islam
secara substansial dan menyeluruh. Substansi dan sistematika ajaran Islam
meliputi iman, ibadah, amal shaleh dan jihad.[9]
Keempat aspek ajaran ini merupakan ringkasan ajaran Islam yang diajarkan dan
dipimpinkan Rosulullah SAW dalam rangka memperbaiki negara atau masyarakat.
Ringkasan ajaran Islam tersebut kemudian disampaikan dalam sidang BPUPKI tahun
1945 dan dalam Muktamar Muhammadiyahke-31. Ki Bagus menyampaikan pidato tentang
Islam sebagai dasar negara akan tidak dimuat dalam dokumen negara yang disusun
oleh Muhammad Yamin, begitu juga dengan pidato dari golongan Islam lainnya
seperti Mas Mansyur, Muzakkir, Wahid Hasyim.[10]
Demikian pula yang terjadi dengan pidato Mohammad Hatta, sehingga Hatta
menyebut Yamin “manusia licik”.[11]
Sidang tersebut berlangsung pada tanggal 29, 30, dan 31 Mei 1945, yang membahas
tentang dasar negara Indonesia, daerah negara dan kebangsaan Indonesia. Sidang
tersebut diketuai oleh Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat.
Dalam masa reses selama hampir 40 hari, 2 Juni-9 Juli 1945 terbentuklah panitia
kecil yang beranggotakan sembilan orang, karenanya lebih dikenal dengan panitia
sembilan. Kesembilan panitia kecil adalah : Soekarno, M. Hatta, M. Yamin, A.A
Maramis, Ahmad Subarjo, Abdul Kahar Muzakir, K.H Wachid Hasyim, Agus Salim,
Abikusno Tjokrosujono.[12] Pada
tanggal 22 Juni 1945 – panitia sembilan menghasilkan dokumen-dokumen yang
kemudian oleh Mr. Muhammad Yamin dinamakan Piagam Jakarta (Jakarta Charter)
itu akhirnya diterima bulat dan ditandatangani oleh BPUPKI.[13] Kesembilan
penandatanganan Piagam Jakarta itu sungguh-sungguh representatif
mencerminkan alam dan aliran pikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia.[14]
Rumusan
kolektif daripada dasar negara Indonesia Merdeka berbunyi : [15]
1.
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2.
(menurut ) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4.
(dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5.
(serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pergumpulan yang panjang selama 22 hari, tercapailah konsensus dua pemikiran :
Islam sebagai dasar negara dan pancasila sebagai dasar negara. Dalam pembahasan
lebih lanjut pancasila diterima sebagai dasar negara dengan konsekuensi
tertentu, maksudnya disini terjadi perubahan, yaitu Sila Ketuhanan diletakkan
diurutan pertama dengan menambah kalimat dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Akan tetapi hal ini mendapat reaksi
dari berbagai pihak saat rancangan Piagam Jakarta ini disampaikan pada sidang
hari kedua BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Reaksi tersebut muncul dari
Lutuharhary, Wongsonegoro, dan Hosein Djajadiningrat. Kemudian pada sidang
pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 tanggapan muncul dari nasionalis Islami,
yaitu Ki Bagus Hadikusumo yang mengusulkan dihapuskannya kata-kata dalam
kalimat Ketuhanan, yaitu bagi pemeluk-pemeluknya.[16]
Pada awalnya Ki Bagus Hadikusumo hanya mengomentari soal redaksi dan kemudian
mengemukakan alasan lain, bahwasannya itu merupakan perundang-undangan ganda,
yaitu untuk kaum muslim dan satu untuk umat lain, hal ini tidak dapat diterima.
Hal ini mendapat tanggapan dari Sukarno yang sekaligus menjadi ketua panitia
sembilan dan anggota BPUPKI. Ia menaggapi bahwasannya hal itu sudah
merupakan keputusan mutlak dari hasil kompromi dari kedua belah pihak, yaitu
golongan kebangsaan dan Islam. Setelah diskusi yang panjang mengenai batang
tubuh Undang-undang Dasar, Ki Bagus Hadikusumo untuk ketiga kalinya minta
penjelasan mengenai anak kalimat “bagi pemeluk-pemeluknya. Akan tetapi
ketua menjelaskan bahwa masalah ini sudah dibahas panjang lebar pada hari
sebelumnya. Sekali lagi, ia menyatakan ketidaksetujuannya dan tetap pada
pendiriannya, yaitu dihapuskannya kata bagi pemeluk-pemeluknya dalam
anak kalimat sila Ketuhanan. Kemudian pernyataan dari Abikusno tentang
persatuan dan kesatuan, kompromi antar kedua golongan.[17]
Penjelasan tersebut mendapat tepuk tangan oleh para anggota. Ketua BPUPKI
Radjiman bertanya kepada Ki Bagus, “ Jadi bagaimana pendirian tuan Hadikusumo?
Sudah terima?” Ki Bagus menjawab, “ Sudah.” Radjiman bertanya lagi,” jadi
apakah saya bisa menetukan, bahwa usul panitia tentang pernyataan dan
pembukaan…… diterima bulat?” anggota sidang menjawab: Bulat”.[18]
Pada sidang pleno tanggal 14 Juli 1945 inilah suara aklamasi menyetujui dan
mengesahkan secara bulat rancangan Piagam Jakarta.
B.
MUHAMADIYAH
DAN ASAS TUNGGAL
1.
Latar Belakang Munculnya Pancasila sebagai Asas Tunggal
Asas tunggal, Tunggal jelas berarti satu. Asas tunggal berarti tidak boleh ada asas lain.
Jika Pancasila menjadi asas tunggal, itu berarti tak boleh ada asas lain
kecuali Pancasila yang dijadikan tumpuan berpikir atau berpendapat di negeri
ini. Kalaupun ada yang lain, tidak boleh bertentangan dengan
Pancasila. Pokoknya, Pancasila berada di atas segalanya. Yang lain ada di
bawahnya, termasuk Islam.
Pada awal kekuasaannya, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa
rezim baru ini adalah pewaris sah dari presiden pertama. Dari khasanah
ideologis Sukarno, pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai
satu-satunya dasar negara dan karena itu merupakan resep yang paling tepat
untuk melegitimasi kekuasaannya. Kekuasaan awal Orde Baru sanggup memberikan
doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas pemerintahan
yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah dan harus
ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’ itu berhasil, sehingga
tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal 1966, terjadi peristiwa
kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya, yaitu ‘pembantaian’ orang-orang
yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis.[1]
Koalisi Orde
Baru, yang terdiri dari militer (sebagai kekuatan dominan), kelompok
pemuda-pelajar, Muslim, intelektual, demokrat, berhasil memberi dukungan yang
diperlukan untuk menggulingkan Sukarno dalam bulan Maret 1966. Mulai saat
itulah, Orde Baru menancapkan pengaruhnya dengan menfokuskan pada pancasila dan
meletakkannya segai pilar ideologi rezim. Suharto beserta tokoh penting Orde
Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa pentingnya pancasila bagi orde
baru. pancasila kemudian menjadi kekuatan paling efektif untuk meminimalisasi
kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara. Tampaknya di awal kekuasaannya,
Orde Baru berhasil menyelesaikan masalah legitimasi ideologisnya.
Pada
kekuasaan Orde Baru inilah pancasila benar-benar menjadi kekuatan ideologis
paling efektif dalam usahanya menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde Baru
menjadi kekuatan yang membela secara jelas pancasila sebagai ideologi. sehingga
setiap ancaman besar terhadap bangsa (kekuasaan), merupakan ancaman terhadap
pancasila, dan buktinya semua bentuk pemberontakan dapat dihancurkan.
Demikianlah awal dimana kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan
masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan pancasila sebagai
ideologi negara, Bahkan sanggup pula menggunakan pancasila sebagai alat untuk
memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh
kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Orde Baru menjadi identik dengan
pancasila, sehingga setiap usaha mengkritisinya “dicurigai” sebagai usaha untuk
mengubah ideologi negara, dan itu harus ditumpas habis.
Pada awal
1980-an rezim Suharto menghendaki agar pancasila dijadikan satu-satunya asas
bagi seluruh partai politik dan organisasi kemasyarakatan yang ada di
Indonesia.[2]
Kepercayaan diri rezim ini dan konsentrasinya untuk mencegah meningkatnya
keteguhan Islam untuk bersatu menjadi gerakan politik yang berbahya membuat
rezim ini berusaha mewujudkan keseragaman ideologis yang lebih besar lagi di
seluruh sektor sosial politik.[3]
Dalam pidato tahunannya di depan DPR pada tanggal 10 Agustus 1982, kemudian
gagasan presiden itu di masukkan dalam ketetapan MPR no 11/1983 (pasal 3
bab IV), dengan alasan demi memelihara, memperkuat dan memantapkan Pancasila
dalam kehidupan sosial dan nasional bangsa, seluruh partai politik dan Golongan
Karya harus menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Selanjutnya presiden
Soeharto menegaskan bahwa “seluruh kekuatan sosial politik harus menyatakan
bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila
1. Sikap umat Muhammadiyah terhadap
pancasila sebagai asas tunggal
Muhammadiyah
akhirnya, adalah organisasi besar Islam, yang paling kemudian menerima
Pancasila sebagai asas tunggal.Tidak mudah memang sebab melalui lobi yang
panjang. Tanda-tanda
menerima asas tunggal ini, secara terbuka, mulai tampak pada hari kedua
muktamar, 8 Desember 1985. Di pendopo Mangkunegaran, Solo, itu, dengan gaya kocak
dan disambut penuh gelak tawa, Haji A.R. Fakhruddin. Ketua PP Muhammadiyah,
menyebutkan bahwa asas Pancasila itu diterima, "dengan ikhtiar".
Dengan ikhtiar, kata Fakhruddin, "Supaya yang dimaksudkan pemerintah itu
berhasil, tapi tidak melanggar agama. Kami, para pimpinan, tetap bertekad
menegakkan kalimah Allah di Indonesia ini. Tidak merusakkan peraturan-peraturan
di Indonesia, tapi tidak menjual iman, tidak menjual agama." Dan keplok
pun membahana. PP Muhammadiyah secara resmi mulai membahas asas Pancasila ini
dalam sidang Tanwir akhir Mei 1983. Kesimpulan: Muhammadiyah lahir karena
Islam, tanpa asas Islam tentu tidak Muhammadiyah lagi. Pancasila, bagi
Muhammadiyah, bukan persoalan. Sebab, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus
Hadikusumo, Prof. Kahar Muzakir, dan Kasman Singodimejo, ikut merumuskan dan
menerima Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945.
C. PANCASILA SEBAGAI KONSENSUS NASIONAL
Pancasila merupakan hasil konsensus
nasional (Darul Ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (Darus Syahadah)
untuk menjadi negeri yang aman dan damai (Darus Salam). Negera ideal yang
dicita-citakan Islam adalah negara yang diberkahi Allah karena penduduknya
beriman dan bertaqwa (QS. Al –A’raf : 96), beribadah dan memakmurkannya (QS.
Al-Dzariyat: 56), menjalankan fungsi kekhalifahan dan tidak membuat kerusakan
di dalamnya (QS. Al Baqarah: 11, 30), memiliki relasi hubungan dengan Allah dan
sesama manusia yang harmonis (QS. Ali Imran: 112), mengembangkan pergaulan
antar komponen bangsa dan kemanusiaan yang setara dan berkualitas taqwa (QS. Al
Hujurat: 13), serta menjadi bangsa yang unggul dan bermartabat (Khaira Ummah)
(QS. Ali Imran: 110).
Pancasila sebagai dasar Negara
Republik Indonesia adalah ideologi negara yang mengikat seluruh rakyat dan
komponen bangsa. Pancasila bukan agama, tetapi substansinya mengandung dan
sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa
Pancasila itu Islami karena substansinya pada setiap silanya selaras dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Dalam Pancasila terkandung ciri keislaman dan
keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan (humanisme
religius), hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan,
serta keadilan dan kemakmuran.
Maka melalui proses integrasi
keislaman dan keindonesiaan yang positif itu, umat Islam Indonesia sebagai
kekuatan mayoritas dapat menjadi teladan yang baik (uswatun khasanah) dalam
mewujudkan cita-cita nasional yang sejalan dengan idealisme Baldatun
Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Untuk itu segenap umat Islam harus berkomitmen
menjadikan negara Pancasila sebagai Darus Syahadah, yakni negara
tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan
kebangsaan yang harmonis dan berkemajuan.
Pancasila sebagai Darus Syahadah,
harus dijadikan sebagai sarana umat untuk bersaing dan berlomba-lomba dalam
kebaikan (Fastabiqul Khairat). Oleh sebab itu umat Islam harus siap bersaing
untuk mengisi dan memajukan kehidupan bangsa dengan segenap kreasi dan inovasi
yang terbaik.
D.
PANCASILA, NKRI DAN MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah memandang bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah
Negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan
sejalan dengan ajaran Islam. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia; secara esensi selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam
dan dapat diisi serta diaktualisasikan menuju kehidupan yang dicita-citakan
umat Islam yaitu Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Negara Pancasila yang
mengandung jiwa, pikiran, dan cita-cita luhur sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945 itu dapat diaktualisasikan sebagai Baldatun Thayyibatun Wa
Rabbun Ghafur yang berperikehidupan maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat
dalam naungan ridla Allah SWT.
Bahwa Negara Pancasila merupakan hasil konsensus
nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah)
untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang
maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah SWT.
Pandangan kebangsaan tersebut sejalan dengan cita-cita Islam tentang negara
idaman “Baldatun Thayyiabtun Wa Rabbun Ghafur”, yaitu suatu negeri yang baik
dan berada dalam ampunan Allah. Negara ideal itu diberkahi Allah karena
penduduknya beriman dan bertaqwa (QS Al-A’raf: 96), beribadah dan
memakmurkannya (QS Adz-Dzariyat: 56; Hud: 61), menjalankan fungsi kekhalifahan
dan tidak membuat kerusakan di dalamnya (QS Al-Baqarah: 11, 30), memiliki relasi
hubungan dengan Allah (habluminallah)dan dengan sesama (habluminannas) yang
harmonis (QS Ali Imran: 112), mengembangkan pergaulan antarkomponen bangsa dan
kemanusiaan yang setara dan berkualitas taqwa (QS Al-Hujarat: 13), serta
menjadi bangsa unggulan bermartabat khyaira ummah(QS Ali Imran: 110). Negara
Indonesia yang penduduknya mayoritas
Muslim tersebut dalam konteks keislaman dan keindonesiaan harus terus dibangun
menjadi Negara Pancasila yang Islami dan berkemajuan menuju peradaban utama
bagi seluruh rakyat.
Pancasila sebagai dasar Negara Republik
Indonesia adalah ideologi negara yang mengikat seluruh rakyat dan komponen
bangsa. Pancasila bukan agama, tetapi substansinya mengandung dan sejalan
dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang menjadi rujukan ideologis dalam kehidupan
kebangsaan yang majemuk. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Pancasila itu
Islami karena substansi pada setiap silanya selaras dengan nilai-nilai ajaran
Islam. Dalam Pancasila terkandung ciri keislaman dan keindonesiaan yang
memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan (humanisme religius), hubungan
individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan
kemakmuran. Melalui proses integrasi keislaman dan keindonesiaan yang positif
itu maka umat Islam Indonesia sebagai kekuatan mayoritas dapat menjadi uswah
hasanah dalam membangun Negara Pancasila menuju cita-cita nasional yang sejalan
dengan idealisasi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Segenap umat Islam termasuk di dalamnya Muhammadiyah
harus berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai Dar al-Syahadahatau
negara tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun
kehidupan kebangsaan yang bermakna menuju kemajuan di segala bidang kehidupan.
Dalam Negara Pancasila sebagai Darus Syahadah, umat Islam harus siap bersaing
(fastabiqul khairat) untuk mengisi dan memajukan kehidupan bangsa dengan
segenap kreasi dan inovasi yang terbaik. Dalam hal ini Muhammadiyah sebagai
komponen strategis umat dan bangsa mempunyai peluang besar untuk mengamalkan
etos fastabiqul khairat itu dantampil menjadi a leading force atau kekuatan
yang berada di garis depan untuk mengisi dan memimpin Negara Pancasila menuju
kehidupan kebangsaan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat
sejajar dengan negara-negara lain yang telah maju dan berperadaban tinggi.
Dalam kenyataan hidup berbangsa dan bernegara
nilai-nilai Pancasila belum banyak diimplementasikan sehingga penyelenggaraan
pemerintahan masih diwarnai penyimpangan antara lain terlihat dari maraknya
praktek-praktek korupsi, kekerasan, skandal moral, friksi-friksi dalam
masyarakat, eksploitasi sumberdaya alam secara tak bertanggungjawab,
kemiskinan, dan belum terwujudnya pemerataan atas hasil pembangunan nasional.
Sebagian elite dan warga menunjukkan perilaku ajimumpung, menerabas, serta
mengedepankan kepentingan diri dan kroni yang merusak sendi-sendi kehidupan
bangsa dan negara. Sementara kehidupan sosial politik, ekonomi, dan budaya
cenderung serbaliberal. Pancasila dengan lima silanya yang luhur itu harus
ditransformasikan ke dalam seluruh sistem kehidupan nasional sehingga terwujud
Indonesia sebagai bangsa dan negara yang benar-benar Berketuhanan Yang Maha
Esa, Berperikamanusiaan yang adil dan beradab, Berpersauan Indonesia,
Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, serta Berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila
harus diberi pemaknaan nilai dan aktualisasi secara terbuka dan dinamis
sehingga dapat menjadi rujukan dan panduan yang mencerdaskan, memajukan, dan
mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Negara Pancasila terkandung paham nasionalisme
yang menjunjung-tinggi nilai-nilai dan orientasi kebangsaan serta menjadi
bingkai pandangan negara-bangsa. Paham nasionalisme serta segala bentuk
pemikiran dan usaha yang dikembangkan dalam membangun Indonesia haruslah berada
dalam kerangka dasar Negara Pancasila dan diproyeksikan secara dinamis untuk
terwujudnya cita-cita nasional tahun 1945. Nasionalisme bukanlah doktrin mati
sebatas slogan cinta tanah air minus pembuktian. Nasionalisme harus dimaknai
dan difungsikan sebagai spirit, pemikiran, dan tindakan untuk membangun
Indonesia secara amanah dan bertanggungjawab menuju terwujudnya cita-cita
nasional di tengah badai masalah dan tantangan zaman. Nasionalisme yang
bertumpu pada jiwa dan cita-cita kemerdekaan itu harus mampu menghilangkan
benih-benih seperatisme dan penyimpangan dalam bernegara. Segala bentuk
separatisme yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan mencita-citakan bentuk
negara yang lain sesungguhnya bertentangan dengan komitmen nasional dan
cita-cita proklamasi kemerdekaan. Demikian pula setiap bentuk penyelewengan
dalam mengurus negara seperti korupsi, kolusi, nepotisme, penjualan aset-aset
negara, pengrusakan sumberdaya alam dan lingkungan, penindasan terhadap rakyat,
otoritanisme, pelanggaran hak asasi manusia, tunduk pada kekuasaan asing, serta
berbagai tindakan yang merugikan hajat hidup bangsa dan negara merupakan
penghianatan terhadap nasionalisme dan cita-cita kemerdekaan.
Muhammadiyah sebagai kekuatan strategis umat dan
bangsa berkomitmen untuk membangun Negara Pancasila dengan pandangan Islam yang
berkemajuan. Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran,
kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup
secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjungtinggi kemuliaan
manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diksriminasi. Islam yang
menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan,
antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi
seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi
alam, serta berbagai kemungkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang
secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa,
ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka bumi.
Dengan pandangan Islam yang berkemajuan Muhammadiyah
bertekad menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara Pancasila yang berkemajuan.
Muhammadiyah berjuang di Negara Pancasila menuju Indonesia Berkemajuan sesuai
dengan Kepribadiannya yaitu (1) Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan
kesejahteraan; (2) Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah; (3) Lapang dada, luas pemandangan dengan
memegang teguh ajaran Islam; (4) Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan; (5)
Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah
negara yang sah; (6) Amar ma’ruf nahi mungkar dalam segla lapangan serta
menjadi contoh teladan yang baik; (7) Aktif dalam perkembangan masyarakat
dengan maksud islah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam; (8) Kerjasama
dengan golongan Islam mana pun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan
agama Islam, serta membela kepentingannya; (9) Membantu Pemerintah serta
bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara untuk
mencapai masyarakat yang Islam yang sebenar-benarnya; dan (10) Bersifat adil
serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.
Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam menyadari
sepenuhnya bahwa Negara Indonesia merupakan tempat menjalankan misi dakwah dan
tajdid untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah
bersama komponen umat Islam dan bangsa Indonesia lainnya berjuang dalam gerakan
kebangkitan nasional menuju kemerdekaan dan berperan aktif dalam mendirikan
Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Karenanya sebagaimana terkandung dalam butir kelima Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) tahun 1969, sebagai suatu kesyukuran serta
wujud tanggungjawab keagamaan dan kebangsaan “Muhammadiyah mengajak segenap
lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air
yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik
Indonesia yang berdaar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha
bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil makmur yang diridhai Allah
Subhanahu wata`ala: “BALDATUN THAYYIBATUN WA RABBUN GHAFUR
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dalam sidang
BPUPKI tahun 1945 dan dalam Muktamar Muhammadiyahke-31 telah membahas ringkasan
ajaran islam. Hasil pembahasan tertuang dalam piagam jakarta yang disetujui pada
sidang pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945.
2.
Pancasila
dijadikan asas tunggal bagi seluruh partai politik dan organisasi kemasyarakatan
yang ada di Indonesia, termasuk Muhammadiyah untuk
mencegah meningkatnya keteguhan Islam untuk bersatu menjadi gerakan politik
yang berbahya dan berusaha mewujudkan keseragaman ideologis yang lebih besar
lagi di seluruh sektor sosial politik.
3.
Pancasila
sebagai konsensus nasional memiliki makna komitmen untuk membangun kehidupan
kebangsaan yang harmonis dan berkemajuan sesuai dengan cita – cita nasional
melalui proses integrasi keislaman dan keIndonesian
4.
Pancasila
merupakan asas dan ideologi yang mengikat seluruh rakyat dan komponen bangsa,
salah satunya adalah organisasi masyarakat islam yaitu muhammadiyah untuk
mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Pancasila yang
adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.
BAB IV
DAFTAR
PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar